Pada tahun 1939, dari sudut pandang Pemerintah Belanda, kekacauan yang muncul di desa-desa di Denpasar dan sekitarnya akibat perpindahan agama dapat membawa masalah. Karena itulah Pemerintahan Belanda mempunyai keinginan untuk memindahkan sekelompok warga tersebut.
Di Denpasar pada waktu itu bertugas asisten Yansen sebagai perwakilan Pemerintahan Belanda. Beliau merestui rencana perpindahan tersebut.
Sebuah tim yang terdiri dari Made Sela, Made Rungu dan Nyoman Regig berangkat untuk memeriksa tanah dengan berjalan kaki selama 3 hari. Mereka sempat memeriksa tanah di sebelah timur Gumrih dan hutan sebelah utara Melaya. Di dekat Pura Indrakusuma (Candikusuma) tim menaiki sebuah pohon yang tinggi untuk memantau wilayah di hutan Melaya, dan memutuskan memilih hutan Melaya yang sekarang bernama Blimbingsari.
Dengan persetujuan Regent Jembrana dan Sedahan Agung, orang-orang baru ini berhasil membuka desa dan pertanian yang sangat subur.
Untuk persiapan kedatangan mereka dari berbagai desa di Denpasar dan sekitarnya ke hutan ini, pemerintah telah menugaskan bogolan (narapidana) untuk membangun sebuah barak di dekat tibuan buaya yang sekarang disebut Dam Eka Santosa. Orang-orang ini lalu masuk dan menempati barak yang telah disiapkan. Proses perpindahan berlangsung tahun 1939. Tetapi sampai sekarang tidak ada dokumen yang menyebutkan tanggal berapa mereka masuk ke hutan ini. Dari mulut ke mulut kita mendapat informasi bahwa mereka sudah dapat merayakan hari Natal bersama keluarga pada tahun 1939.
Warga yang mula-mula datang ke hutan ini adalah 30 orang laki-laki, dengan tujuan untuk merabas hutan. Mereka tinggal dibarak-barak yang dibuat oleh para bogolan. Diperkirakan proses tersebut berlangsung selama 3 bulan. Mereka membangun gubug-gubug sederhana untuk mempersiapkan menjemput keluarganya. Pembagian tanah dilakukan dengan cara lotre, masing-masing mendapat 2 hektar tanah termasuk 20 are pekarangan. Sedangkan untuk kelian dan pemimpin rohani diberikan tempat yang sentral. Desa ini disebut Blimbingsari karena sebelum dirabas wilayah ini dipenuhi pohon Blimbing yaitu Blimbing yang berbunga tetapi tidak berbuah.
Terjadi perpisahan yang mengharukan ketika mereka menjemput keluarga di desa asal mereka. Mereka dibekali dengan berbagai perlengkapan memasak, bertani, termasuk buah kelapa. Selanjutnya buah kelapa ini ditanam di kebun-kebun mereka sehingga sampai saat ini buah kelapa menjadi hasil pertanian utama di Desa Blimbingsari.
Mereka membangun desa sesuai dengan budaya Bali yaitu nyegara gunung berbentuk salib. Gunung utara, laut selatan dan desa ditengah hutan.
Warga mula-mula yang ikut dalam rombongan pertama adalah mereka yang membayar pajak tanah di Blimbingsari, sedangkan yang belakangan membeli lahan disebelah selatan desa Blimbingsari dan membayar pajak ke Melaya. Rombongan dipimpin oleh Made Sela (pekak War) yang bertindak selaku Kelihan. Dan pemimpin rohani mereka adalah penginjil Made Cadug (Gurun Luh Sudarmi).
Blimbingsari berkembang begitu cepat, pendatang-pendatang baru seperti dari Madangan dan keluarga lainnya menyusul. Blimbingsari dikembangkan ke Ambyarsari pada tahun 1947.
Mereka membangun desa ini dengan luar biasa, jalan-jalan diatur dengan sangat baik dan luas sampai ke kebun-kebun. Awalnya mereka menanam palawija sehingga mereka dapat membantu keluarga-keluarga di asal mereka.